Tidak Ada Pernikahan yang Sempurna
Hal pertama yang perlu ditanamkan adalah: tidak ada pernikahan yang sempurna. Sebagaimana dua manusia yang tidak pernah lepas dari kekurangan, begitu pula pernikahan. Masalah, perbedaan pendapat, bahkan pertengkaran kecil adalah bagian dari perjalanan. Justru dari situlah pasangan belajar memahami, memaafkan, dan tumbuh bersama.
Kebahagiaan Itu Proses, Bukan Hasil Instan
Banyak orang membayangkan pernikahan sebagai kebahagiaan yang otomatis hadir setelah akad. Padahal, kenyataannya, kebahagiaan adalah proses panjang yang dilalui berdua. Ada saat-saat penuh tawa, ada pula masa penuh ujian. Keduanya adalah warna yang melengkapi perjalanan rumah tangga. Seperti perahu di laut, kadang melewati ombak besar, kadang berlayar tenang. Yang penting adalah terus berpegang erat pada kemudi dan tujuan.
Belajar dari Nasihat Imam al-Ghazali
Sejak abad ke-12, Imam al-Ghazali sudah menuliskan nasihat tentang pernikahan dalam karyanya. Menurut beliau, ada tiga kunci penting yang harus diperhatikan:
- 
Persiapan sebelum menikah – bukan sekadar pesta, tapi kesiapan mental, spiritual, dan tanggung jawab. 
- 
Menjalani rumah tangga dengan kesederhanaan – menekan syahwat perut dan kemaluan, agar hidup lebih tenang dan tidak dikuasai hawa nafsu. 
- 
Saling mendukung dalam kebaikan – pasangan bukan sekadar teman tidur, tapi juga sahabat perjuangan menuju ridha Allah. 
Betapa bijak pesan ini, meski ditulis berabad-abad lalu, tetap relevan hingga kini.
Kunci Kebahagiaan: Saling Melengkapi, Bukan Menyalahkan
Rumah tangga ibarat dua orang yang sedang mendaki gunung. Ada saat-saat lelah, ada jalan yang curam, ada kabut yang membuat pandangan samar. Tetapi, bila keduanya saling menopang, perjalanan akan terasa lebih ringan. Kebahagiaan tidak datang dari mencari pasangan yang sempurna, melainkan dari usaha bersama untuk saling melengkapi kekurangan.
Pernikahan bukan sekadar ikatan lahir, tapi juga ikatan batin yang butuh dipupuk setiap hari. Jika kita menyadari bahwa kebahagiaan adalah proses yang dilalui bersama, maka kita akan lebih siap menghadapi suka dan duka rumah tangga. Dengan kesabaran, doa, dan usaha bersama, insyaAllah keluarga sakinah mawaddah wa rahmah bukan sekadar cita-cita, tetapi bisa benar-benar terwujud.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
