Sikapnya menunjukkan bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin terletak pada kemampuannya menerima kritik dengan lapang dada, kemudian membenahi sesuatu yang masih kurang dalam kepemimpinannya. Suatu hari di tengah khalayak ramai, Umar bin Khattab, sang Khalifah yang dikenal tegas namun adil, didatangi oleh seorang pria. Dengan lantang pria tersebut berseru, “Bertakwalah kepada Allah, wahai Umar!”
Seruan ini mengejutkan banyak orang di sekelilingnya. Sebagian dari mereka, merasa bahwa Umar sebagai pemimpin yang dihormati tak sepatutnya diberi peringatan seperti itu di depan umum. Mereka hendak menyuruh pria itu diam, tetapi sebelum ada yang bertindak, Umar menghentikan mereka. Dengan ketenangan yang khas, Umar menoleh dan berkata kepada mereka, “Tidak ada kebaikan pada kalian jika kalian tidak mengatakannya, dan tidak ada kebaikan pada kami jika kami tidak mendengarnya.” Perkataan ini menyiratkan bahwa bagi seorang pemimpin, nasihat dan kritik dari rakyatnya adalah suatu hal yang harus diterima dengan lapang dada, bukan dianggap sebagai penghinaan.
Di lain waktu, Umar kembali berdiri di mimbar untuk menyampaikan khutbah kepada umat. “Wahai manusia! Dengarlah dan taatilah!” serunya, memulai pidatonya. Namun, tak lama setelah ia mulai berbicara, seseorang dari kerumunan menyela dengan tegas, “Kami tidak mau mendengar dan taat, wahai Umar!” Suasana tegang sejenak.
Umar, yang biasanya disegani karena ketegasan dan kekuatan kepemimpinannya, tidak menunjukkan tanda-tanda tersinggung. Dengan tenang, ia bertanya, “Mengapa, wahai Abdullah?” Pria itu menjawab, “Karena masing-masing dari kami hanya mendapatkan satu potong kain untuk menutupi aurat kami, sedangkan engkau mengenakan pakaian lengkap!” Orang-orang yang hadir sejenak terdiam, seolah terkejut dengan kejujuran yang dilontarkan di hadapan Umar.
Namun Umar tidak terpancing amarah. Dengan tenang, ia berkata, “Tetaplah di tempatmu.” Kemudian ia memanggil putranya, Abdullah bin Umar. Abdullah datang dan menjelaskan kepada orang banyak bahwa ia telah memberikan bagian kain miliknya kepada ayahnya, sehingga Umar bisa mengenakan pakaian lengkap itu. Setelah mendengar penjelasan tersebut, para sahabat merasa puas. Orang yang tadi menginterupsi pidato Umar kini berubah sikap.
Dengan penuh hormat dan khusyuk, ia berkata, “Sekarang, kami mendengar dan akan menaati, wahai Amirul Mukminin!” (Muhammad As-Shallabi, Umar bin Khattab Syakhsiyatuhu wa Ashruhu, [Suriah: Dar Ibni Katsir, 2009], halaman 109-110).
Dua peristiwa ini memperlihatkan keteladanan luar biasa dari Umar bin Khattab. Ia tidak hanya seorang pemimpin yang adil dan bijaksana, tetapi juga seseorang yang terbuka terhadap kritik, bahkan di hadapan orang banyak.
Umar menunjukkan bahwa kekuatan seorang pemimpin bukan terletak pada kekuasaannya, melainkan pada kebijaksanaannya menerima masukan dan kritik dengan penuh kerendahan hati.
Lebih dari itu, Umar bin Khattab justru bersyukur dan berterima kasih jika ada yang berani menunjukkan kesalahannya.
Sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Ghazali, Umar pernah berkata;
كان عمر رضي الله عنه يقول: رحم الله امرأ أهدى الي عيوبي
Artinya: “Umar bin Khattab pernah berkata, 'Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan kesalahanku'.”. (Ihya 'Ulumiddin, [Indonesia, Karya Thaha Putra: tt.], jilid III, halaman 62).
Sikap bijaksana juga ditunjukkan oleh Abu Bakar dalam merespons kritik dari masyarakat. Ia tidak hanya terbuka terhadap masukan, tetapi secara terbuka mendorong agar setiap keputusan dan tindakan yang diambilnya dikomentari dan dievaluasi.
Hal ini tercermin dengan jelas dalam salah satu khutbahnya, di mana ia menyampaikan pesan penting tentang tanggung jawab kepemimpinannya:
فإن أحسنت فأعينوني وإن زغت فقوموني
Artinya: “Jika aku berbuat baik, maka bantulah aku. Namun jika aku menyimpang, luruskanlah aku.” (As-Suyuthi, Jam’ul Jawami’, [Lebanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1971], jilid XI, halaman 82).
Abu Bakar juga memberikan teladan dalam hal membuka ruang bagi koreksi dan evaluasi terhadap kepemimpinannya. Ia tidak menuntut masyarakat untuk taklid buta terhadap setiap kebijakannya.
Sebaliknya, ia bersikap inklusif, membiarkan rakyatnya untuk menilai dan mengkaji ulang setiap tindakannya. Abu Bakar menegaskan dalam salah satu khutbahnya:
فأطيعوني ما أطعت الله فإذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم
Artinya: “Maka taatlah kepadaku selama saya taat kepada Allah swt. Jika saya durhaka kepada-Nya dan rasul-Nya, maka jangan taat kalian kepada saya”. (As-Suyuthi, Jam’ul Jawami’, halaman 82).
Hal ini juga tercermin dalam pernyataan Sayyidina Abu Bakar yang dengan kerendahan hati menolak untuk melegitimasi dirinya sebagai yang terbaik di antara umatnya.
Ia menegaskan bahwa kepemimpinannya bukanlah tanda superioritasnya, melainkan tanggung jawab yang diembannya dengan kesadaran penuh akan kekurangan diri. Beliau berkata:
قد وليت أمركم ولست بخيركم
Artinya, "Sungguh, aku telah diamanahkan untuk memimpin urusan kalian, namun aku bukanlah yang terbaik di antara kalian." (Yusuf Al-Kandahlawi, Hayatus Shahabah, [Lebanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1971], jilid XI, halaman 217).
Oleh karena itu, musyawarah dengan para sahabat menjadi tradisi intelektual yang dijalankan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab dalam memutuskan perkara yang tidak ditemukan solusinya secara jelas dalam Al-Qur'an maupun hadits. Tradisi ini tercermin dalam paparan As-Suyuthi berikut:
جمع رؤوس الناس وخيارهم فاستشارهم، فإذا أجمع رأيهم على أمر... قضى به. وكان عمر رضي الله عنه يفعل ذلك
Artinya: “Abu Bakar mengumpulkan para pemuka dan orang-orang pilihan, lalu bermusyawarah dengan mereka. Apabila mereka mencapai kesepakatan atas suatu pendapat, maka ia memutuskan berdasarkan hal itu. Umar juga melakukan hal yang sama.” (As-Suyuthi, Tarikhul Khulafa’, [Lebanon: Darul Minhaj, 2013], halaman 118).
Dalam sistem musyawarah, setiap orang yang hadir memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapat, memberikan kritik, serta menawarkan masukan dan evaluasi. Tidak ada ruang bagi klaim kebenaran mutlak dari satu individu. Semua pendapat harus dihargai dengan tujuan mencari solusi terbaik secara kolektif.
Pemimpin yang terbuka terhadap kritik, evaluasi, dan koreksi adalah pemimpin yang benar-benar mempraktikkan nilai-nilai musyawarah. Hal ini bahkan dicontohkan oleh para khalifah. Meskipun mereka memiliki rekam jejak luar biasa dan diakui secara luas, termasuk oleh Nabi Muhammad, mereka tetap rendah hati dan bersedia untuk dinilai oleh orang-orang di sekitarnya. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda:
خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر وعمر
Artinya: “Yang terbaik dari umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar dan Umar bin Khattab.” (HR. Ahmad).
Dengan demikian, para pemimpin di Indonesia seyogiayanya terinspirasi untuk meneladani jejak Abu Bakar dan Umar bin Khattab sebagai pemimpin yang selalu siap dikritik, dikoreksi, dan dievaluasi. Seorang pemimpin yang bijaksana tidak boleh menjadi sosok yang anti-kritik, apalagi mengingat bahwa tidak ada pemimpin yang sempurna.
Kritik bukanlah ancaman, melainkan nasihat yang membantu seorang pemimpin dalam menjalankan tanggung jawabnya. Seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, kritik berfungsi untuk mengingatkan ketika pemimpin lalai, menutup kekurangan saat terjadi kesalahan, menyatukan suara rakyat di belakang mereka, dan memulihkan hubungan hati yang terpisah.
Kritik, pada dasarnya, adalah bentuk partisipasi yang menjaga keutuhan dan keadilan dalam kepemimpinan. (Fathul Bari, [Lebanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1971], jilid I, halaman 184).
Oleh karena itu, kritik seharusnya tidak dianggap sebagai masalah bagi seorang pemimpin, tetapi justru sebagai instrumen penting untuk menjaga kualitas pengabdian kepada bangsa. Kritik merupakan kontrol yang diperlukan demi meningkatkan kualitas kepemimpinan, dan merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan cita-cita luhur negeri ini. Wallahu a'lam.
Ustadz Muqoffi, Guru Pon-Pes Gedangan & Dosen IAI NATA Sampang Madura
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT