Suara Merdu di Langit Senja ( CERPEN )


Matahari mulai merangkak turun di ufuk barat, meninggalkan jejak-jejak jingga di langit. Angin sore berhembus lembut, menyapa daun-daun yang bergoyang pelan. Di sudut desa yang tenang, suara adzan maghrib terdengar mengalun indah dari pengeras suara masjid, menyeru umat untuk menunaikan shalat.

Di halaman masjid, seorang anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun berjalan pelan. Namanya Akbar, seorang bocah yang setiap sore selalu semangat menuju masjid untuk mengaji bersama teman-temannya. Bagi Akbar, mengaji bukan hanya kewajiban, tetapi juga kegiatan yang membawa kebahagiaan. Setiap kali ia melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an, hatinya merasa damai dan tenang.

Hari itu, Akbar tiba lebih awal dari biasanya. Dengan langkah ringan, ia melewati pintu masjid yang terbuka lebar dan langsung menuju rak Al-Qur'an di sudut ruang. Ia mengambil satu mushaf, kemudian duduk di atas sajadah hijau yang biasa ia gunakan. Suasana di dalam masjid masih sepi, hanya ada suara samar-samar dari jemaah yang sedang berwudhu di luar.

Sambil menunggu teman-temannya datang, Akbar membuka mushafnya dan mulai membaca surah favoritnya, Al-Fatihah. Suaranya mengalun lembut, penuh penghayatan. Ia mengingat setiap huruf, melafalkannya dengan tajwid yang benar seperti yang diajarkan ustadznya. Akbar sangat suka bagian "Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in"—ayat yang selalu mengingatkannya untuk berserah diri sepenuhnya kepada Allah.

Tak lama, satu per satu anak-anak lain mulai datang. Ada Hasan, Rudi, dan Fadhil—mereka bertiga adalah sahabat dekat Akbar yang juga sangat rajin mengaji. Dengan segera, masjid kecil itu dipenuhi suara anak-anak yang sedang membuka mushaf mereka. Ustadz Harun, guru mengaji mereka, juga tiba dengan senyum hangatnya.

"Assalamu'alaikum, anak-anak," sapa Ustadz Harun dengan lembut. Semua anak menjawab salam itu dengan serentak, penuh semangat.

"Walaikumussalam, Ustadz!"

"Baik, hari ini kita akan mulai dengan mengulang surah Al-Fatihah. Akbar, karena kamu yang pertama datang, coba bacakan untuk kami."

Akbar mengangguk dengan penuh rasa percaya diri. Ia bangkit, mengambil tempat di hadapan teman-temannya, lalu dengan suara tenang, ia mulai melantunkan surah Al-Fatihah. Suaranya mengalir merdu, memenuhi ruang masjid dengan keindahan ayat-ayat suci.

Setelah selesai, Ustadz Harun tersenyum puas. "Luar biasa, Akbar. Tajwidmu sudah sangat baik. Insya Allah, jika terus berlatih, kamu akan menjadi qari yang hebat suatu hari nanti."

Akbar tersenyum malu, tapi hatinya berbunga-bunga mendengar pujian dari ustadznya. Ia memang bercita-cita ingin menjadi qari, seseorang yang bisa melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan indah dan penuh penghayatan. Setiap hari, ia berlatih agar suaranya semakin bagus dan tajwidnya semakin sempurna.

Setelah semua anak-anak menyelesaikan giliran mereka, Ustadz Harun memimpin doa bersama, mengakhiri sesi mengaji sore itu. Saat langit semakin gelap, Akbar dan teman-temannya berjalan pulang bersama. Di sepanjang jalan, mereka saling bercanda dan bercerita tentang berbagai hal.

Namun, di dalam hati Akbar, ada perasaan hangat yang tak bisa dijelaskan. Mengaji di masjid bersama teman-temannya bukan hanya rutinitas, tetapi juga waktu yang paling ia nantikan setiap hari. Di sana, ia merasa dekat dengan Allah, dan merasakan kedamaian yang sulit ditemukan di tempat lain.

Setibanya di rumah, Akbar melihat ibunya sedang menyiapkan makan malam di dapur. Ia segera mencium tangan ibunya dan menceritakan tentang pujian yang ia terima dari Ustadz Harun. Ibunya tersenyum bangga, lalu mengusap kepala Akbar dengan penuh kasih sayang.

"Teruslah belajar, Nak. Ibu selalu mendoakan agar kamu bisa menjadi qari yang hebat dan berguna bagi banyak orang," ucap ibunya lembut.

Akbar mengangguk mantap. Di dalam hatinya, ia berjanji akan terus berusaha sebaik mungkin, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk membahagiakan kedua orang tuanya dan menjadi hamba yang selalu dekat dengan Tuhannya.

Malam itu, saat Akbar menutup matanya untuk tidur, suara lantunan ayat-ayat suci yang ia baca di masjid masih terngiang di telinganya. Suara itu, yang pernah terdengar merdu di langit senja, kini menjadi pengantar tidur yang menenangkan jiwanya.

|
Tinggalkan Komentera sini...
Terima kasih Komentarnya
Lebih baru Lebih lama