Iblis Terusir dari Surga

 


Kelompok yang berpegang teguh pada pendapat kedua mengajukan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dijawab. Mereka berkata, "Tidak diragukan lagi bahwa Allah mengusir Iblis ketika ia menolak bersujud dihadapan-Nya sehingga Dia memerintahkan Iblis untuk keluar dari surga dan turun darinya." Perintah tersebut bukan merupakan bagian dari perintah syariat yang memungkinkan untuk diingkari, tetapi merupakan urusan takdir yang tidak bisa dihindari dan ditolak. Oleh sebab itu, Allah berfirman,


اخْرُجْ مِنْهَا مَذْءُوْمًا ﴿١٨﴾

"Keluarlah kamu dari surga itu sebagai makhluk yang terhina." (QS. Al-A'râf: 18) Allah juga berfirman,

فَاهْبِطُ مِنْهَا فَمَا يَكُوْنُ لَكَ أَنْ تَتَكَبَّرَ فِيهَا ﴿١٣﴾

"Maka turunlah kamu dari surga itu, karena kamu telah menyombongkan diri di dalamnya." (QS. Al-A'râf: 13)"

Allah juga berfirman,

فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَحِيمٌ ﴿۷۷﴾

"Maka keluarlah kamu dari surga. Sesungguhnya, kamu adalah makhluk yang terkutuk." (QS. Shâd: 77) ( dengan redaksi fakhruj ( maka keluarlah kamu )

Dhamir (kata ganti) dari kata minha pada ayat tersebut merujuk pada kata "al- jannah (surga)", atau "as-sama" (langit)", atau "al-manzilah (tempat, kedudukan)". Sebagaimana telah dimaklumi, Iblis tidak lagi bisa berkutik ketika ia diturunkan dari surga atau ia dijauhkan darinya. Ia tidak bisa berdiam di dalam surga, tidak bisa berlalu-lalang, dan tidak bisa mondar-mandir di dalamnya.

Mereka berkata, "Hal ini seperti yang dipahami dari hubungan struktur kalimat pada ayat al-Qur'an yang secara eksplisit menjelaskan bahwa Iblis membisikkan pikiran jahat kepada Adam dan menasihatinya dengan mengatakan: 'Maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?' (QS. Thâhâ: 120)

Begitu juga dengan mengatakan: 'Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya agar menampakkan aurat mereka (yang selama ini) tertutup. Dan setan berkata: Tuhanmu hanya melarang kamu berdua mendekati pohon ini supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (di dalam surga).' Dan ia (setan) bersumpah kepada keduanya: 'Sesungguhnya, aku adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua.' Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya..." (QS. Al-A'râf: 20-22) sampai akhir ayat.

Ayat ini menjadi dalil yang nyata bahwa Iblis (setan) berkumpul bersama Adam dan Hawa di dalam surga yang ditempati oleh keduanya. Dengan begitu, hal ini membuktikan bahwa Iblis tidak dilarang untuk berkumpul bersama Adam dan Hawa di dalam surga dengan cara melewatinya, bukan dengan cara menempati surga. Iblis menggoda Adam dan Hawa dari pintu surga atau dari bawah kolong langit. Ketiga pendapat tersebut masih dalam tataran khilafiyah (beda pendapat). Wallahu a'lam.

Hujah (dalil) yang digunakan oleh orang-orang yang berpendapat seperti itu di antaranya adalah riwayat hadis yang berasal dari Abdullah bin Imam Ahmad di dalam kitab Az-Ziyadat, dari Hudbah bin Khalid, dari Hammad bin Salamah, dari Humaid, dari Hasan al-Bashri, dari Yahya bin Dhumrah as-Sa'di, dari Ubay bin Ka'ab, ia berkata, "Ketika Adam di ambang kematian, ia menginginkan buah anggur surga lalu anak-anaknya segera pergi untuk mencarinya. Para malaikat pun menemui mereka seraya berkata: 'Hendak pergi ke mana, wahai putra-putra Adam?"

Mereka menjawab: "Sesungguhnya, ayahku ingin makan buah anggur surga. Para malaikat berkata: 'Pulang lagi saja kalian. Usaha kalian cukup sampai di sini saja.

Ketika telah sampai di rumah, mereka mendapati ayah mereka telah wafat. Mereka segera memandikannya, memberi wewangian, dan mengafaninya. Jibril dan para malaikat yang berada di belakangnya mengerjakan shalat jenazah untuknya. Mereka berkata: 'Inilah amaliah yang disunnahkan kepada kalian dalam mengurus orang-orang yang meninggal di antara kalian." Demikianlah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Asakir di dalam kitab Mukhtashar- nya, juz 4, hlm. 226.

Hadis ini akan kami jelaskan nanti berikut dengan sanadnya dan redaksinya yang utuh dalam pembahasan tentang wafatnya Adam. Mereka berkata, "Seandainya surga yang pernah ditempati oleh Adam itu tidak dapat dicapai, anak- anaknya pasti tidak akan mencari buah anggur tersebut." Hal ini mengindikasikan bahwa surga tersebut ada di bumi, bukan di langit. Wallahu a'lam.

Mereka juga berkata, "Dalil yang menyatakan bahwa huruf alif dan lam pada kata al-jannah (surga itu) yang terdapat di dalam firman Allah: Wahai Adam, bertempat tinggallah kamu dan istrimu di surga,' (QS. Al-A'râf: 19) menunjukkan bahwa surga yang dijanjikan Allah kepada Adam itu tidak sama dengan surga dalam pandangan seorang muslim. Akan tetapi, hal itu menunjukkan hubungan kalimat. Sesungguhnya, Adam itu diciptakan dari tanah dan tidak akan pindah ke langit. Beliau diciptakan untuk menempati bumi. Oleh sebab itu, Allah memberitahu kepada malaikat melalui firman-Nya: 'Sesungguhnya, Aku hendak MENJADIKAN SEORANG KHALIFAH DI MUKA BUMI." (QS. Al-Baqarah: 30)

Mereka mengatakan bahwa hal seperti itu juga terjadi seperti dijelaskan di dalam firman Allah berikut ini

اِنَّا بَلَوْنٰهُمْ كَمَا بَلَوْنَآ اَصْحٰبَ الْجَنَّةِۚ

Sesungguhnya, Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun itu." (QS. Al-Qalam: 17)

Huruf alif dan lam yang ada pada kata al-jannah pada ayat tersebut bukan menunjukkan pengertian umum juga bukan menunjukkan makna redaksional yang biasa digunakan, melainkan mengandung pemikiran yang menunjukkanı adanya keterkaitan istilah kata. Pada ayat tersebut maksud al-jannah berarti al- bustan yang bermakna kebun.

Mereka berkata, "Disebutkannya kata hubuth (turun) bukan berarti turun dari langit." Allah telah berfirman:

قِيْلَ يَا نُوحُ اهْبِطُ بِسَلَامٍ مِنَّا وَبَرَكَاتٍ عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَمٍ مِّمَّنْ مَعَكَ ﴿٤٨﴾

"Difirmankan: 'Wahai Nuh, TURUNLAH dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atas dirimu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang- orang yang bersamamu." (QS. Hûd: 48)

Saat itu Nabi Nuh sedang berada di kapal yang berlabuh di Bukit al-Jûdiy kemudian banjir disurutkan dari muka bumi. Setelah itu, beliau dan kaumnya diperintahkan untuk hubûth (turun) dari kapal ke daratan bumi dengan diberkahi.

Allah berfirman:

اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ

"PERGILAH kamu sekalian ke suatu kota, pasti kamu sekalian memperoleh apa yang kalian minta." (QS. Al-Baqarah: 61)

Allah juga berfirman:

وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ﴿٧٤)

"Dan di antaranya sungguh ada yang MELUNCUR JATUH karena takut kepada Allah." (QS. Al-Baqarah: 74)

Penggunaan kata ihbith banyak dijumpai di dalam hadis Nabi dan di dalam aplikasi bahasa Arab. Mereka berkata, "Penggunaan kata tersebut tidak saling kontradiktif, tetapi dipahami dari konteks realitasnya. Dalam hal ini, surga yang dihuni oleh Nabi Adam berada di tempat yang lebih tinggi dari daratan yang ada di muka bumi. Di dalamnya terdapat berbagai macam pepohonan, buah-buahan, tempat berteduh, kenikmatan, kesenangan, dan kebahagiaan sebagaimana difirmankan oleh-Nya, 'Sesungguhnya, kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang'." (QS. Thâhâ: 118) Maksudnya, batin Anda tidak akan terhina oleh rasa lapar dan lahir Anda tidak telanjang.

Allah juga berfirman, "Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya." (QS. Thâhâ: 119)

Maksudnya, batin Anda tidak merasakan kehausan dan lahir Anda tidak merasakan panasnya sinar matahari. Ayat di atas menunjukkan adanya perbandingan di antara dua keadaan, yaitu keadaan ketika keduanya berada di tengah-tengah malaikat.

Ketika Adam memakan buah pohon yang dilarang, beliau pun diturunkan ke bumi yang penuh dengan kesengsaraan, kelelahan, kesukaran, kesedihan, kekerasan, kesulitan, cobaan, dan ujian. Bumi itu dipenuhi dengan berbagai macam agama, tingkah laku, dan perbuatan. Di dalamnya juga dipenuhi dengan berbagai macam tujuan, keinginan, ucapan, dan perbuatan.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: "Dan bagi kamu sekalian ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." (QS. Al-Baqarah: 36)

Hal ini bukan berarti mereka berada di langit sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: "Dan Kami berfirman sesudah itu kepada Bani Israil: 'Diamlah di negeri ini. Lalu ketika datang masa berbangkit, niscaya Kami datangkan kamu sekalian dalam keadaan bercampur baur (dengan musuhmu)." (QS. Al-Isrâ`: 104)

Jelas kiranya bahwa mereka menetap di muka bumi, bukan berada di langit.

Mereka juga berkata, "Pendapat ini bukan merupakan furu' (sempalan) dari pendapat yang mengingkari sudah adanya surga dan neraka saat ini karena tidak ada relevansi di antara keduanya. Semua pendapat tersebut berasal dari sebagian ulama dahulu (ulama salaf) dan sebagian besar ulama kontemporer (ulama khalaf). Mereka berkeyakinan bahwa saat ini surga dan neraka sudah ada sebagaimana dikemukakan oleh ayat-ayat al-Qur'an dan hadis-hadis sahih. Wallahu a'lam bishshawab.

Sumber : Kitab Qashash Al-Anbiya, Ibnu Katsir, Penerbit: Ad-Darul Alamiyyah

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

|
Tinggalkan Komentera sini...
Terima kasih Komentarnya
Lebih baru Lebih lama